Jumat, 09 Januari 2009

Towards Free Education


The focus on free education has a 60-year history, with the UN Declaration of Human Rights.

The focus on free education has a 60 year history. It started with the Article 46 of the United Nations Declaration of Human Rights in 1948, which stated that everyone has the right to education, and that education ‘‘shall be free, at least in the elementary and fundamental stages’’. Half a century later, the World Education Forum (WEF) reiterated that all states should not only fulfill an obligation to offer free and compulsory education, but also provide one of good quality. However, the translation of the ideal into reality has been far from straightforward. Other countries aside, let us focus on Indonesia.

In July 2005, the Government of Indonesia introduced the Free Basic Education policy (FBE). Under this policy, school fees are to be abolished in primary and junior secondary school. An advanced gesture, the FBE serves to achieve two goals: act as a compensation for the subsequent increase in fuel prices, and support the 9 year mandatory basic education program by relieving the poor from education costs.

At that time, school enrolment rates were still low, and high costs prevented many low-income households from obtaining formal education.

There are two types of costs in education: direct and indirect costs. Direct costs comprise mainly of school fees, a one-time registration fee at the beginning of the school year, and a set of monthly fees. Average monthly spending is about Rp. 20,000 for primary school and Rp. 50,000 for junior secondary school students. The FBE did not mandate that all schools waive off these fees. Instead, it was an option for schools to waive off school fees in return for a ‘block grant’ as compensation for revenue loss. In addition, direct costs also include travelling and school supplies costs. Altogether, these costs pose a significant burden to low-income households. As in other countries, for education to be free, direct costs should be largely be waived off by the government.

However, as it is, Indonesia ranked the lowest among 47 countries (including more “backward” countries such as Uruguay, Kazakhstan and Laos) in its total education spending as a percentage of Gross Domestic Product (GDP) – measuring only at 1.5% of GDP. Although the budget for 2009 has been increased, there is still a loud cry for the involvement of non-profit organizations, international NGOs, individuals and the private sector to lessen the burden of low-income households to achieve ‘education for all’.

The barriers to free education, as gargantuan as they already are, do not stop there. The greater challenge to free education lies in the indirect costs, or the opportunity costs of putting a child into school. Opportunity costs are the forgone wages in the labor market or loss contributions to household activities. For example, the wages a child brings home from working in a factory, or the farm yield from his efforts. For low-income households, this cost is often higher than the costs of school fees and supplies. When the basic survival needs of a household are not met, families need as many pairs of hands possible to make day’s ends’ meet – they do not need brains.

This perception that short-term gains are more important than long-term investment through education of a child must be changed. Although understandable, this perception has created a reality for many low-income households, and worse, a future that is not any better for their children. On this view, the government and other organizations must do more than contribute money and waive off school fees. They must instead, spend time and effort to aggressively propagate a change of mindset among the poorest levels of society, to prevent the perpetuation of a vicious cycle of poverty.

Admittedly, the real solution of lowering opportunity costs to education is in improved economic conditions in the lower-income levels. However, that will take decades to achieve. Furthermore, we cannot expect better economic conditions in this level without first educating its people. There is no way out except through education.

In its 2009 Education for All (EFA) Global Monitoring Report, UNESCO placed Indonesia 71st out of 129 countries surveyed, down from 62nd in 2007 and 58th in 2006. This shows that instead of progressing in enabling education for all, Indonesia has been slipping down the ladder. Because of the existence of high opportunity costs to education in this country, an ‘iron fist’ approach from the top might not necessarily work. Therefore, the challenge for Indonesia is how it will strategize and galvanize effort from all levels of society to approach this issue from a community-based approach.

The change in mindset towards education has to be generated from the top level but transmitted at the grassroot level, with trained change agents including community leaders, principals, village heads, teachers, parents and volunteers.

If not, education in Indonesia will never be free, even if monetarily it is.


* Sapto Handoyo Sakti is Sampoerna Foundation’s Communication Director. He was formerly the Senior Manager of Communications and Outreach at WWF Indonesia. Mr. Sakti holds a Post Graduate Diploma in Communication Management from Massey University, New Zealand.

(Disadur dari www.vivanews.com)

Profesi Guru dan Problematikanya

ejak disahkannya Undang-undang No.14 tentang Guru dan Dosen tahun 2005, pamor profesi guru mulai naik. Profesi ini mulai diminati lagi oleh banyak orang. Apalagi dengan adanya sertifikasi guru dalam jabatan di tahun 2007. Telah banyak guru yang mengikuti sertifikasi agar dapat memperoleh sertifikat guru guna dijuluki guru profesional.

Profesi guru tak menarik
Saya masih ingat, jarang sekali ada di antara anak didik saya yang mengangkat tangan ketika saya tanyakan siapakah diantara kalian yang mau jadi guru? Tak ada satupun anak yang mempunyai minat menjadi guru. Alasannya, mereka bilang “gaji guru kecil sich pak! Enakkan jadi tentara, pegawai, atau profesi lainnya”.

Lain dulu lain sekarang. Profesi guru sekarang ini mulai banyak diminati. Pamornya naik bak artis selebritis yang mulai ngetop. Banyak media membicarakannya. Banyak media memuji perannya. Tetapi juga tak sedikit media yang mencaci-makinya karena kekurangprofesionalan guru itu sendiri dalam melaksanakan pekerjaannya.

Problematika guru dan solusinya.
Profesi guru dan problematika yang dihadapinya nampaknya harus saya uraikan dalam tulisan ini. Bukan hendak menjelekkan profesi guru, tapi juga berupaya mengungkapkan problem sekaligus solusi yang dihadapinya karena guru juga manusia yang punya kekurangan dan kelebihan.

Problem pertama guru yang terlihat jelas sekarang ini adalah kurangnya minat guru untuk meneliti. Banyak guru yang malas untuk meneliti di kelasnya sendiri dan terjebak dalam rutinitas kerja sehingga potensi ilmiahnya tak muncul ke permukaan.

Banyak guru menganggap kalau meneliti itu sulit. Sehingga karya tulis mereka dalam bidang penelitian tidak terlihat sama sekali. Padahal setiap tahun, depdiknas selalu rutin melaksanakan lomba keberhasilan guru dalam pembelajaran (LKGDP) tingkat nasional yang diselenggarakan oleh direktorat Profesi Guru.

Biasanya para guru akan sibuk meneliti bila mereka mau naik pangkat saja. Karenanya guru harus diberikan bekal agar dapat melakukan sendiri Penelitian Tindakan Kelas (PTK).

PTK adalah sebuah penelitian yang dilakukan oleh guru di kelasnya sendiri dengan jalan merencanakan, melaksanakan, dan merefleksikan tindakan secara kolaboratif dan partisipatif dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya sebagai guru, sehingga hasil belajar siswa dapat meningkat.

Problem kedua guru adalah masalah kesejahteraan. Guru sekarang masih banyak yang belum sejahtera. Terlihat jelas dikotomi antara guru berplat merah (PNS) dan guru berplat hitam (non PNS). Banyak guru yang tak bertambah pengetahuannya karena tak sanggup membeli buku. Boro-boro buat membeli buku, untuk biaya hidupnya saja mereka sudah kembang kempis.

Kenyataan di masyarakat banyak pula guru yang tak sanggup menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi, karena kecilnya penghasilan yang didapat setiap bulan. Dengan adanya sertifikasi guru dalam jabatan, semoga kesejahteraan guru ini dapat terwujud.

Saya masih ingat janji pemerintah SBY-JK kalau kesejahteraan guru akan semakin ditingkatkan. Dengan semakin meningkatnya kesejahteraan guru, maka akan berimbas kepada peningkatan mutu guru dan kualitas pendidikan di sekolah kita.

Biar bagaimanapun juga profesi guru adalah pilar terpenting untuk kemajuan bangsa. Oleh karena itu sudah sepantasnya apabila profesi ini lebih diperhatikan, terlebih kesejahteraannya. Tetapi, jangan karena kesejahteraan kurang kemudian kreativitas guru menjadi mati.

Coba lihat guru-guru di daerah terpencil. Berapakah gaji mereka? Saya rasa tak seberapa. Tapi loyalitasnya terhadap pendidikan begitu sangat luar biasa. Bahkan ketika saya bertemu dengan ibu Muslimah (Laskar Pelangi) yang asli, beliau mengatakan kalau guru sekarang harus punya komitmen dan dedikasi yang tinggi.

Banyak contoh lain dari kehidupan guru yang meskipun kesejahteraannya kurang, tapi komitmen terhadap pendidikan tetap tinggi. Sebaliknya berapa banyak guru yang gajinya sudah tinggi tapi tetap ogah-ogahan mengajar. Semua ini berpulang kembali pada mentalitas kita.

Problem ketiga dari guru adalah kurang kreatifnya guru dalam membuat alat peraga atau media pembelajaran. Selama ini masih banyak guru yang menggunakan metode ceramah saja dalam pembelajarannya, tak ada media lain yang digunakan sebagai alat Bantu pembelajaran. Mereka tak pernah berpikir untuk membuat sendiri media pembelajarannya.

Kalau saja para guru kreatif, pasti akan banyak ditemukan berbagai alat peraga dan media yang dapat digunakan guru untuk menyampaikan materi pembelajarannya. Guru yang kreatif tak akan pernah menyerah dengan keadaan. Kondisi minimnya dana justru membuat guru itu kreatif memanfaatkan sumber belajar lainnya yang tidak hanya berada di dalam kelas, seperti : Pasar, Museum, Lapangan olahraga, Sungai, kebun, dan lain sebagainya.

Profesionalitas guru dalam menciptakan proses dan luaran pendidikan persekolahan yang bermutu merupakan prasyarat mutlak demi terwujudnya sumber daya manusia Indonesia yang kompetitif dan mandiri di masa datang. Oleh karena itu diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dan kontinyu bagi peningkatan dan pengembangan kemampuan profesional guru.

Untuk mengatasi problematika guru di atas, diperlukan kerjasama dari kita semua untuk dapat saling membantu agar guru mampu meneliti, mendapatkan income tambahan dari keprofesionalannya, dan menyulut guru untuk kreatif dalam mengembangkan sendiri media pembelajarannya. Bila itu semua dapat terwujud, maka kualitas pendidikan kita pun akan meningkat.

Semoga guru-guru dapat mengatasi sendiri problematika yang dihadapinya. Jangan menyerah dan pasrah dengan keadaan yang ada. Justru gurulah yang harus menjadi motivator dan inspirator bagi lingkungannya.(Wijaya Kusumah,Mahasiswa Pascasarjana UNJ).

(disadur dari www.vivanews.com)

Profesi Guru dan Problematikanya

ejak disahkannya Undang-undang No.14 tentang Guru dan Dosen tahun 2005, pamor profesi guru mulai naik. Profesi ini mulai diminati lagi oleh banyak orang. Apalagi dengan adanya sertifikasi guru dalam jabatan di tahun 2007. Telah banyak guru yang mengikuti sertifikasi agar dapat memperoleh sertifikat guru guna dijuluki guru profesional.

Profesi guru tak menarik
Saya masih ingat, jarang sekali ada di antara anak didik saya yang mengangkat tangan ketika saya tanyakan siapakah diantara kalian yang mau jadi guru? Tak ada satupun anak yang mempunyai minat menjadi guru. Alasannya, mereka bilang “gaji guru kecil sich pak! Enakkan jadi tentara, pegawai, atau profesi lainnya”.

Lain dulu lain sekarang. Profesi guru sekarang ini mulai banyak diminati. Pamornya naik bak artis selebritis yang mulai ngetop. Banyak media membicarakannya. Banyak media memuji perannya. Tetapi juga tak sedikit media yang mencaci-makinya karena kekurangprofesionalan guru itu sendiri dalam melaksanakan pekerjaannya.

Problematika guru dan solusinya.
Profesi guru dan problematika yang dihadapinya nampaknya harus saya uraikan dalam tulisan ini. Bukan hendak menjelekkan profesi guru, tapi juga berupaya mengungkapkan problem sekaligus solusi yang dihadapinya karena guru juga manusia yang punya kekurangan dan kelebihan.

Problem pertama guru yang terlihat jelas sekarang ini adalah kurangnya minat guru untuk meneliti. Banyak guru yang malas untuk meneliti di kelasnya sendiri dan terjebak dalam rutinitas kerja sehingga potensi ilmiahnya tak muncul ke permukaan.

Banyak guru menganggap kalau meneliti itu sulit. Sehingga karya tulis mereka dalam bidang penelitian tidak terlihat sama sekali. Padahal setiap tahun, depdiknas selalu rutin melaksanakan lomba keberhasilan guru dalam pembelajaran (LKGDP) tingkat nasional yang diselenggarakan oleh direktorat Profesi Guru.

Biasanya para guru akan sibuk meneliti bila mereka mau naik pangkat saja. Karenanya guru harus diberikan bekal agar dapat melakukan sendiri Penelitian Tindakan Kelas (PTK).

PTK adalah sebuah penelitian yang dilakukan oleh guru di kelasnya sendiri dengan jalan merencanakan, melaksanakan, dan merefleksikan tindakan secara kolaboratif dan partisipatif dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya sebagai guru, sehingga hasil belajar siswa dapat meningkat.

Problem kedua guru adalah masalah kesejahteraan. Guru sekarang masih banyak yang belum sejahtera. Terlihat jelas dikotomi antara guru berplat merah (PNS) dan guru berplat hitam (non PNS). Banyak guru yang tak bertambah pengetahuannya karena tak sanggup membeli buku. Boro-boro buat membeli buku, untuk biaya hidupnya saja mereka sudah kembang kempis.

Kenyataan di masyarakat banyak pula guru yang tak sanggup menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi, karena kecilnya penghasilan yang didapat setiap bulan. Dengan adanya sertifikasi guru dalam jabatan, semoga kesejahteraan guru ini dapat terwujud.

Saya masih ingat janji pemerintah SBY-JK kalau kesejahteraan guru akan semakin ditingkatkan. Dengan semakin meningkatnya kesejahteraan guru, maka akan berimbas kepada peningkatan mutu guru dan kualitas pendidikan di sekolah kita.

Biar bagaimanapun juga profesi guru adalah pilar terpenting untuk kemajuan bangsa. Oleh karena itu sudah sepantasnya apabila profesi ini lebih diperhatikan, terlebih kesejahteraannya. Tetapi, jangan karena kesejahteraan kurang kemudian kreativitas guru menjadi mati.

Coba lihat guru-guru di daerah terpencil. Berapakah gaji mereka? Saya rasa tak seberapa. Tapi loyalitasnya terhadap pendidikan begitu sangat luar biasa. Bahkan ketika saya bertemu dengan ibu Muslimah (Laskar Pelangi) yang asli, beliau mengatakan kalau guru sekarang harus punya komitmen dan dedikasi yang tinggi.

Banyak contoh lain dari kehidupan guru yang meskipun kesejahteraannya kurang, tapi komitmen terhadap pendidikan tetap tinggi. Sebaliknya berapa banyak guru yang gajinya sudah tinggi tapi tetap ogah-ogahan mengajar. Semua ini berpulang kembali pada mentalitas kita.

Problem ketiga dari guru adalah kurang kreatifnya guru dalam membuat alat peraga atau media pembelajaran. Selama ini masih banyak guru yang menggunakan metode ceramah saja dalam pembelajarannya, tak ada media lain yang digunakan sebagai alat Bantu pembelajaran. Mereka tak pernah berpikir untuk membuat sendiri media pembelajarannya.

Kalau saja para guru kreatif, pasti akan banyak ditemukan berbagai alat peraga dan media yang dapat digunakan guru untuk menyampaikan materi pembelajarannya. Guru yang kreatif tak akan pernah menyerah dengan keadaan. Kondisi minimnya dana justru membuat guru itu kreatif memanfaatkan sumber belajar lainnya yang tidak hanya berada di dalam kelas, seperti : Pasar, Museum, Lapangan olahraga, Sungai, kebun, dan lain sebagainya.

Profesionalitas guru dalam menciptakan proses dan luaran pendidikan persekolahan yang bermutu merupakan prasyarat mutlak demi terwujudnya sumber daya manusia Indonesia yang kompetitif dan mandiri di masa datang. Oleh karena itu diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dan kontinyu bagi peningkatan dan pengembangan kemampuan profesional guru.

Untuk mengatasi problematika guru di atas, diperlukan kerjasama dari kita semua untuk dapat saling membantu agar guru mampu meneliti, mendapatkan income tambahan dari keprofesionalannya, dan menyulut guru untuk kreatif dalam mengembangkan sendiri media pembelajarannya. Bila itu semua dapat terwujud, maka kualitas pendidikan kita pun akan meningkat.

Semoga guru-guru dapat mengatasi sendiri problematika yang dihadapinya. Jangan menyerah dan pasrah dengan keadaan yang ada. Justru gurulah yang harus menjadi motivator dan inspirator bagi lingkungannya.(Wijaya Kusumah,Mahasiswa Pascasarjana UNJ).

(disadur dari www.vivanews.com)

Bio-petroleum dari gula

Oleh Soetrisno

Peneliti di Amerika Serikat telah mengembangkan sebuah metode untuk merubah gula menjadi bensin. Metode ini, berdasarkan serangkaian konversi katalitik, bisa menjadi alternatif untuk fermentasi gula dari tanaman menjadi etanol sebagai sebuah sumber bahan bakar untuk transportasi.

Tim James Dumesic di Universitas Wisconsin-Madison mulai mengembangkan upaya untuk mengonversi gula-gula sederhana menjadi hidrokarbon yang bisa dicampurkan untuk membentuk bahan bakar kendaraan yang identik dengan bahan bakar yang kita gunakan saat ini. "Petroleum memiliki kepadatan energi yang tinggi, dan tidak semua mesin yang digunakan saat ini cocok untuk melakukan konversi pada etanol," kata Dumesic.

Inti dari pendekatan yang digunakan tim ini adalah menghilangkan sebagian besar atom oksigen dari molekul-molekul gula, disamping tetap menjaga tingkat fungsionalitas dalam molekul-molekul tersebut agar memungkinkan pemrosesan hilir lebih lanjut. Mereka mengambil larutan-larutan berair dari gula-gula sederhana seperti glukosa dan sorbitol dan mereaksikannya menggunakan bantuan katalis platinum-rhenium. "Hampir semua atom oksigen dilepaskan, sehingga tinggal menyisakan campuran yang berminyak antara alkohol, keton, asam karboksilat dan beberapa senyawa siklik," kata Dumesic. "Senyawa-senyawa ini termasuk senyawa monofungsional - mereka hanya memiliki satu gugus fungsional, yang menjadikannya lebih dapat beradaptasi untuk konversi selanjutnya."

Campuran ini selanjutnya bisa mengalami berbagai reaksi lanjutan dengan bantuan berbagai katalis zeolit. "Katalis-katalis ini bisa memasukkan gugus-gugus ke dalam molekul-molekul, atau misalnya membuat senyawa aromatik," papar Dumesic. "Anda bisa mengalirkan produk-produk reaksi dari satu reaktor ke reaktor lainnya, hingga akhirnya menghasilkan serangkaian hidrokarbon yang bisa dicampur untuk membuat bensin. Molekul-molekul ini adalah kumpulan molekul yang terdapat pada penyulingan petroleum."

Sumber gula

Dumesic mengatakan ada beberapa cara yang masih harus dilalui sebelum sistem ini bisa dikomersialkan. "Kami belum sampai ke situ, tetapi kami sedang mempelajari prinsip-prinsipnya." Dia juga mengakui bahwa salah satu kendala utama dalam pengembangan bahan bakar dari biomassa adalah sumber gula berkelanjutan yang tidak menggeser produksi makanan. "Ada banyak ilmuwan saat ini yang berupaya untuk membuat gula dari selulosa yang bukan dari bahan makanan dan upaya-upaya ini perlu terus dilanjutkan," tambahnya.

Jenny Jones dari Universitas Leeds, Inggris, yang meneliti konversi termal biomassa untuk energi, mengatakan bahwa penelitian ini menunjukkan "beberapa aspek kimiawi yang menarik, dan kemampuan untuk menghasilkan produk-produk berbeda dari stok yang sama sangat bermanfaat". Begitu juga bahan bakar untuk transportasi, proses ini juga bisa menghasilkan molekul-molekul stok kimiawi yang saat ini diperoleh dari petrochemical. Akan tetapi, Jones setuju bahwa untuk menjadikan pedekatan seperti ini berkelanjutan, diperlukan untuk mencari cara-cara yang efisien untuk mengolah lignoselulosa (curahan biomassa non-bahan makanan) untuk mendapatkan molekul-molekul gula sebagai produk utama.

Disadur dari: http://www.rsc.org/chemistryworld

Peneliti LIPI Temukan Flora Khas Danau Kelimutu




Dikirim oleh Yulia A. K. pada tanggal 02-07-2008



Begonia kelimutuensis
Para peneliti dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menemukan spesies flora baru yang hanya terdapat di Taman Nasional (TN) Kelimutu, Flores. Flora tersebut diberi nama Begonia kelimutuensis karena layak menjadi flora khas Danau Kelimutu da tidak ditemukan di daerah lain di seluruh dunia.

Kepala Balai Taman Nasional (TN) Kelimutu, Ir. Gatot Soebiantoro, M.Sc, mengatakan hal itu kepada Pos Kupang, di ruang kerjanya, Jumat (20/6/2008) saat dikonfirmasi tentang hasil penelitian yang dilakukan LIPI terhadap keberadaan flora dan fauna di TN Kelimutu tahun lalu.

Gatot mengatakan, saat ini ada 78 spesies flora berhasil diidentifikasi di TN Kelimutu. Dua spesies merupakan endemik Taman Nasional Kelimutu, 5 spesies endemic Flores, dan sisanya merupakan tanaman eksotik. Dua spesies yang diidentifikasi endemik asli Kelimutu, yaitu Begonia kelimutuensis yang sudah dikenal masyarakat lokal sebagai tumbuhan Uta Onga dan Rhododendron reschinum, atau dalam bahasa daerah setempat dikenal dengan nama Turuwara.

Sedangkan untuk fauna, saat ini terdata 49 spesies yang telah diidentifikasi di Kelimutu. Beberapa di antaranya merupakan endemik Flores dan diharapkan kedepan penelitian tetap dilakukan untuk mengekspolirasi keanekaragaman hayati di TN Kelimutu.

Dikatakannya, kegiatan penelitian studi komunitas flora dan fauna di TN Kelimutu tahun 2007 lalu adalah upaya untuk mengemukan keanekaragaman flora dan fauna dan ekosistem yang ada dalam kawasan TN Kelimutu. Kegiatan ini merupakan hasil kerja intens antara TN Kelimutu dengan Pusat Penelitian Biologi-LIPI-Bogor yang mana mereka menurunka tim terdiri dari Ir. Albert Husein Wawo, MSi, Dr. Hary Wiriadinata, Ir. Sudayanti, Achmad Saim, BSc dan Wardi. Dijelaskannya, studi tahun 2007 lalu merupakan studi awal dari rangkaian studi komunitas flora dan fauna di TN Kelimutu yang direncanakan 3 tahap,
dan diperkirakan akan berakhir tahun 2009.

"Ini merupakan satu kebanggaan bagi kita semua karena selama ini Kelimutu terkenal hanya keunikan danau tiga warna. Namun dengan ditemukan flora baru tersebut setidaknya menambah khasanah dan keindahan Kelimutu, dan dengan begitu pengunjung yang hendak ke Kelimutu tidak hanya sekedar melihat Danau Kelimutu namun bisa menikmati keindahan lainya baik flora maupun fauna yang ada di taman nasional ini," kata Gatot.

Sumber : Kompas (20 Juni 2008)

Tips mengubah ide jadi tulisan

Menurut Elbow, yang pertama perlu dilakukan untuk bisa menulis adalah menulis. Tuangkan apa saja yang terlintas dalam benak melalui tulisan, Elbow memberinya istilah “menulis bebas”.
Menulis bebas merupakan salah satu cara untuk membantu membiasakan menulis. Dalam latihan ini, orang disarankan untuk menuangkan, dalam bentuk tulisan, apapun yang ia pikirkan, bahkan tentang ketidakmampuannya menulis. Saat diminta menulis apa pun yang terpikirkan selama 10 menit dan merasa buntu, orang boleh saja hanya menuliskan kebuntuannya, kebingungannya. Dalam menulis bebas, lupakan aturan, lupakan kesalahan. Tulis dan luapkan saja.
Tentu, menulis bebas bukan akhir dari belajar menulis. Elbow juga bicara tentang proses menulis. Ibarat tanaman, bibit-bibit menulus adalah apa yang dihasilkan dalam menulis bebas. Bibit tidak diharapkan jadi bibit selamanya, ia harus tumbuh sehingga potensi-potensinya teraktualisasi. Bibit diharapkan menjadi pohon yang rindang dan kokoh atau jadi perdu yang indah.
Begitu pula bibit tulisan, hasil menulis bebas perlu ditumbuhkan menjadi tulisan yang menggugah, mencerahkan, memberi kenikmatan bagi pembacanya. Menulis dalam tahp ini menirut Elbow, bukan cara mengirim pesan, tetapi cara menumbuhkan pesan. Seperti pohon, dari batang tulisan yang suah dihasilkan, ranting-ranting pesan bisa ditumbuhkan. Lalu daun-daun kata menghiasinya, rimbun dan berwarna.
Caranya: baca ulang hasil tulisan itu, tegaskan topic utama, temukan bagian-bagian yang perlu dielaborasi atau dihilangkan tentukan alinea-alinea yang perlu diperjelas, rumuskan kalimat-kalimat yang terang, serta pilih kata-kata yang mewakili pikiran dan perasaan.
Seperti apoteker atau koki, penulis perlu menggodok tulisannya. Mengutik Elbow (hal 51) “Pertumbuhan adalah proses yang sangat besar, evolusi seluruh organisme. Penulisan adalah proses yang lebih kecil: pendidihan, penyeduhan, peragian, pembelahan atom.” Dengan menggodok, penulis menggerakkan mesin penumbuh tulisan. Sebuah mesin butuh energi untuk bekerja. Namun energi saja tidak memadai untuk menggodok, apalagi saat energi yang dimiliki terbatas.
Bagi Elbow, penggodokan lebih tepat dipahami sebagai interaksi antarmateri yang berbeda atau bertentangan. Penggodokan bisa sebagai interaksi antarmanusia, antaride, antara kata dan ide, antara keterlibatan dan perspektif, lebih rinci lagi interaksi antarmetafora, antarmode, antara penulisn dan symbol-simbol di atas kertas.
Berbagai pikiran yang dipaparkan digodok dalam tulisan agar menghasilkan ide yang kuat. Ide-ide dipertemukan dan dibandingkan untuk menghasilkan tesis yang tegas. Beragam keterlibatan dan perspektif dipakai untuk menghasilkan paparan komperhensif. Lalu, berbagai metafora, mode penulisan, dan symbol diolah untuk menghasilkan kalimat-kalimat yang bernas.
Proses menulis bebas yang diikuti oleh upaya menumbuhkan dan menggodok dapat dilakukan tanpa guru, tetapi tidak tanpa interaksi dengan orang lain. Menulis adalah interaksi dan yang terpenting adalah interaksi antarmanusia sebab dari manusialah unsure-unsur tulisan paling penting berasal. Elbow menekankan pentingnya keterbukaan pada penulis, berpikiran terbuka, berjiwa terbuka dengan adanya interaksi dengan orang lain.
Elbow secara tersirat tetapi jelas menempatkan tindak menulis sebagai cara menulis. Ini mengingatkan kita kepada ungkapan filsuf dan penulis Iris Murdoch, “Hanya dengan mencintai kita dapat belajar mencintai”. Untuk dapat memiliki kemampuan itu, orang harus melakukannya. Hanya dengan menulis kita dapat belajar menulis. Tanpa melakukannya, kita tak akan pernah mampu menulis dengan baik.
Kemampuan menulis tidak tergantung bakat. Orang tak berbakat pun bisa jadi penulis jika ia berlatih menulis. Bakat adalah urusan orang-orang terpilih, segelintir orang yang mendapat berkah. Adapun kemampuan menulis diperuntukkan bagi siapa saja, tak kenal kasta, status social-ekonomi, tak peduli pemimpin atau bawahan.
Penulis yang baik adalah orang yang mampu menulis dengan baik kapan saja, dimana saja, dan dalam kondisi apa pun. Penulis yang baik tidak hanya mengandalkan inspirasi atau ilham. Juga tidak hanya mengandalkan mood atau suasana hati. Ia menggunakan seluruh pikiran, perasaan, dan tindakan konkretnya saat menulis.
Penulis yang baik juga mampu merangsang dirinya untuk menciptakan suasana hati yang mendukungnya menulis. Ia mampu menyemangati dirinya agar dapat menulis dimana saja dan kapan saja. Ia mengolah pikiran, perasaan, dan tindakan serta dicurahkan dalam bentuk tulisan agar dapat disebarkan kepada orang lain. Penulis yang baik mau berbagi cerita dengan banyak orang lewat tulisannya. Ia adalah seorang dermawan yang mau berbagi pengetahuan dengan siapa saja.
Buku ini memberi petunjuk tentang cara berlatih menulis. Secara rinci dan lancer Elbow memaparkan langkah demi langkah dengan ilustrasi yang menarik. Perumpamaan-perumpamaan yang ia gunakan menjadi daya pikat tulisannya. Contoh-contoh konkret yang ia ambil dari pengalamannya sebagai penulis yang ketakutan dan frustasi serta sebagai dosen menulis menambah terang petunjuk-petunjuk yang ia berikan. Buku yang matang ini merupakan contoh yang baik dari kegiatan menulis bebas yang ditumbuhkan dan digodok scara sungguh-sungguh. Elbow mengajar menulis dengan menulis tanpa guru. (Disarikan dari tulisan Bagus Takwin “ Menumbuhkan dan Menggodok Tulisan” dalam Kompas, Minggu, 6 Januari 2008)

Disadur dari www.seindahyula.blogspot.com

MENJADI GURU PROFESIONAL; Bukan Sekedar Lulus Uji Sertifikasi

MENJADI GURU PROFESIONAL; Bukan Sekedar Lulus Uji Sertifikasi
Oleh : Oktovianus Sahulata, S.Pd *)

Wacana tentang profesionalisme guru kini menjadi sesuatu yang mengemuka ke ruang publik seiring dengan tuntutan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Oleh banyak kalangan mutu pendidikan Indonesia dianggap masih rendah karena beberapa indikator antara lain: Pertama, lulusan dari sekolah dan perguruan tinggi yang belum siap memasuki dunia kerja karena minimnya kompetensi yang dimiliki. Bekal kecakapan yang diperoleh di lembaga pendidikan belum memadai untuk digunakan secara mandiri, karena yang terjadi di lembaga pendidikan hanya transfer of knowledge semata yang mengakibatkan anak didik tidak inovatif, kreatif bahkan tidak pandai dalam menyiasati persoalan-persoalan di seputar lingkungannya. Kedua, Peringkat indeks pengembangan manusia (Human Development Index) masih sangat rendah. Menurut data tahun 2004, dari 117 negara yang disurvei Indonesia berada pada peringkat 111 dan pada tahun 2005 peringkat 110 dibawah Vietnam yang berada di peringkat 108. Ketiga, Mutu akademik di bidang IPA, Matematika dan Kemampuan Membaca sesuai hasil penelitian Programme for International Student Assesment (PISA) tahun 2003 menunjukan bahwa dari 41 negara yang disurvei untuk bidang IPA Indonesia berada pada peringkat 38, untuk Matematika dan kemampuan membaca menempati peringkat 39. Keempat, sebagai konsekuensi logis dari indikator-indikator diatas adalah penguasaan terhadap IPTEK dimana kita masih tertinggal dari negara-negara seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Guru, akhirnya menjadi salah satu faktor menentukan dalam konteks meningkatkan mutu pendidikan dan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas karena guru adalah garda terdepan yang berhadapan langsung dan berinteraksi dengan siswa dalam proses belajar mengajar. Mutu pendidikan yang baik dapat dicapai dengan guru yang profesional dengan segala kompetensi yang dimiliki.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen merupakan sebuah perjuangan sekaligus komitmen untuk meningakatkan kualitas guru yaitu kualifikasi akademik dan kompetensi profesi pendidik sebagai agen pembelajaran. Kualifikasi akademik diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana (S1) atau D4. Sedangkan kompetensi profesi pendidik meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial. Dengan sertifikat profesi, yang diperoleh setelah melalui uji sertifikasi lewat penilaian portofolio (rekaman kinerja) guru, maka seorang guru berhak mendapat tunjangan profesi sebesar 1 bulan gaji pokok. Intinya, Undang-Undang Guru dan Dosen adalah upaya meningkatkan kualitas kompetensi guru seiring dengan peningkatan kesejahteraan mereka.
Persoalannya sekarang , bagaimana persepsi guru terhadap uji sertifikasi?, bagaimana pula kesiapan guru untuk menghadapi pelaksanaan sertifikasi tersebut ? dan adakah suatu garansi bahwa dengan memiliki sertifikasi, guru akan lebih bermutu ?. Analisa terhadap pertanyaan-pertanyaan ini mesti dikritisi sebagai sebuah feed back untuk pencapaian tujuan dan hakekat pelaksanaan uji sertifikasi itu sendiri.
Pengalaman di lapangan, menunjukan bahwa di mata guru, uji sertifikasi adalah sebuah ” revolusi” untuk peningkatan gaji guru. Padahal, ini adalah suatu political will pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas guru yang sangat besar kontribusinya bagi peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Miskonsepsi semacam ini, membuat para guru dapat menghalalkan segala cara dalam membuat portofolionya dengan memalsukan dokumen prestasi atau kinerjanya, seperti yang terjadi di Yogyakarta dan Bali. Dalam konteks ini diperlukan kejelian dari tim penilai portofolio untuk melakukan identifikasi dan justifikasi. Semua penyimpangan harus diungkap atas nama kualitas, dengan melakukan cross check di lapangan.
Uji Sertifikasi bagi guru mesti dipahami sebagai sebuah sarana untuk mencapai tujuan yaitu kualitas guru. Sertifikasi bukan tujuan itu sendiri. Kesadaran dan pemahaman yang benar tentang hakekat sertifikasi akan melahirkan aktivitas yang benar dan elegan, bahwa apapun yang dilakukan adalah untuk mencapai kualitas. Kalau seorang guru kembali masuk kampus untuk kualifikasi, maka proses belajar kembali mesti dimaknai dalam konteks peningkatan kualifikasi akademik yaitu mendapatkan tambahan ilmu dan ketrampilan baru, sehingga mendapatkan ijazah S1 / D4. Ijazah S1 bukan tujuan yang harus dicapai dengan segala cara, termasuk cara yang tidak benar seperti jual-beli ijazah, melainkan konsekuensi dari telah belajar dan telah mendapat tambahan ilmu dan ketrampilan baru. Demikian pula kalau guru yang mengikuti uji sertifikasi, tujuan utama bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi, melainkan untuk dapat menunjukan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kompetensi sebagaimana diisyaratkan dalam standard kemampuan guru. Tunjangan profesi adalah konsekuensi logis yang menyertai adanya kemampuan dimaksud. Dengan menyadari hal ini maka guru tidak akan mencari jalan pintas guna memperoleh sertifikat profesi kecuali dengan mempersiapkan diri dengan belajar yang benar dan tekun berkinerja menyongsong sertifikasi.
Idealisme, semangat dan kinerja tinggi disertai rasa tanggung jawab mesti menjadi ciri guru yang profesional. Dengan kompetensi profesional, guru akan tampil sebagai pembimbing (councelor), pelatih (coach) dan manejer pembelajaran ( learning manager) yang mampu berinteraksi dengan siswa dalam proses transfer pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai yang baik. Semangat untuk tetap belajar (bukan hanya mengajar) akan membantu guru untuk meng-upgrade pengetahuannya, sehingga dapat menyiasati kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta peluang pemanfaatannya untuk memajukan proses belajar mengajar di kelas. Sertifikasi guru adalah amanat Undang-undang bagi semua guru di Indonesia yang jumlahnya sekitar 2,8 juta baik negeri maupun swasta, jadi bukan sesuatu yang mesti diperebutkan oleh guru. Semua akan kebagian, asalkan telah memenuhi persyaratan. Marilah kita terus tingkatkan kompetensi dan profesionalisme kita, sehingga dapat meraih prestasi dan prestise dibidang pendidikan, untuk selanjutnya dapat berdiri sejajar dan bersaing dengan negara-negara lain. Semoga.

*). Penulis adalah Guru SMP Kristen Kalam Kudus Ambon.

dikutip dari www.balagu.com